UNDANG-UNDANG ABORSI
SEBAGAI SOLUSI KEJAHATAN PERKOSAAN?
MAKALAH
diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi
Dosen Pengampu :
oleh
Laela Nurjanah (120482)
JURUSAN
PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS
PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNVERSITAS
PENDIDIKAN INDONESIA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Dalam era globalisasi segala sesuatu semakin
mudah diakses, tidak lagi ada batasan ruang dan waktu. Akses berbagai informasi
dapat dengan mudah dan cepat dilakukan dimanapun dan oleh siapapun. Dalam zaman
internet ini segala macam situs tidak edukatif marak dan merajalela dan berdampak
pada terjadinya pergesaran pola pikir, sikap serta budaya masyarakat.
Perbincangan demoralisasi menjadi topik utama sebagai dampak dari berbagai
permasalahan social, politik, ekonomi, pendidikan bahkan agama. Banyak kasus kejahatan seperti pelecehan
seksual bahkan perkosaan yang salah satunya dipicu oleh kemudahan akses
situs-situs dewasa ataupun segala sesuatu yang kemudian disebut sebagai
pornografi dan pornoaksi. Permasalahan penurunan moral ini kemudian menjadi
permasalahan serius karena akibatnya yang sangat merugikan bagi masa depan
generasi muda bangsa. Pemerintah sebagai pihak yang paling dianggap bertanggung
jawab dalam membentuk segala peraturan dan kebijakan diharapkan mampu
mengurangi dan menghilangkan berbagai permasalahan moral ini.
Mantan Presiden
Susilo Bambang Yudoyono telah
menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi pada 21 Juli 2014 lalu. Undang-undang ini mengatur
berbagai permasalahan kesehatan reproduksi namun yang menjadi permasalahan
adalah adanya pasal dalam undang-undang tersebut yang dianggap melegalkan
kegiatan pengguguran janin bagi korban perkosaan. Undang-undang ini kemudian
menjadi sorotan oleh berbagai pihak.
Perkosaan dapat menimpa siapa saja, remaja, pelajar, ibu-ibu bahkan
anak kecil. Perkosaan menurut Sofwan Dahlan adalah perbuatan bersenggama yang
dilakukan dengan menggunakan kekerasan (force), menciptakan ketakutan (fear)
atau dengan cara memperdaya (fraud). (Sofwan,2000) Pemaksaan ini kerap kali
menimbulkan dampak psikologis dan fisik serius. Trauma dan stress
berkepanjangan menjadi dampak yang sangat mungkin diterima oleh korban bahkan
penyebaran penyakit seks juga sangat mungkin terjadi. Bahkan tidak jarang
korban perkosaan hamil dan hal ini menambah panjang deretan dampak yang mungkin
ditimbulkan dari bentuk kejahatan yang tak bermoral ini. Sebagai warga negara
korban perkosaan berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan jiwanya,
sehingga pemerintah kemudian membentuk peraturan yang memperbolehkan wanita
korban perkosaan yang hamil untuk melakukan aborsi. Sedangkan aborsi dengan
alasan apapun merupakan bentuk kejahatan tersendiri yang jelas diatur dalam Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) selain itu menghilangkan nyawa anak dalam kandungan juga dianggap
melanggar hak hidup anak, seperti yang telah diatur dalam Pasal 1 UU Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sehingga peraturan pemerintah tentang
legalisasi aborsi bagi korban perkosaan ini menjadi kontroversi diberbagai
kalangan.
Oleh karena itu, dalam makalah yang berjudul “UU Aborsi Sebagai
Solusi Kejahatan Perkosaan?” akan dibahas mengenai pro dan kontra undang-undang
tersebut dan berbagai pertimbangan yang menyertainya.
1.2.Rumusan
Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. bagaimana fakta-fakta
tentang perkosaan dan aborsi?
2. apakah pertimbangan penerimaan undang-undang?
3. apakah pertimbangan penolakan undang-undang?
4. bagaimana solusi dalam penyelesaian
permasalahan legalisasi aborsi?
1.3. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah adalah sebagai berikut:
1. mengetahui fakta-fakta
tentang perkosaan dan aborsi
2. mengetahui pertimbangan penerimaan undang-undang
3. mengetahui pertimbangan penolakan undang-undang
4. mengetahui solusi dalam penyelesaian permasalahan legalisasi
aborsi
BAB II
KAJIAN TEORI
KAJIAN TEORI
2.1 Aborsi
2.1.1 Pengertian Aborsi
Dalam
Kamus Besar Bahasa
Indonesia, aborsi adalah pengguguran
kandungan.
Aborsi adalah terminasi
kehamilan yang tidak diinginkan
melalui metode obat-obatan
atau bedah.
Menggugurkan kandungan atau dalam dunia
kedokteran dikenal dengan istilah ”aborsi”, berarti pengeluaran hasil konsepsi
(pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup diluar
kandungan. Aborsi provocatus merupakan istilah lain yang secara resmi dipakai
dalam kalangan kedokteran dan hukum. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup
dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh. Menurut pandangan medis,
abortus adalah berakhirnya kehamilan melalui cara apapun sebelum janin mampu bertahan hidup pada usia
kehamilan sebelum 20 minggu didasarkan
pada tanggal hari pertama haid normal terakhir atau berat janin kurang dari 500
gram ( Obstetri Williams, 2006). Istilah
abortus dipakai untuk menunjukkan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan.
Sampai saat ini janin yang terkecil, yang dilaporkan dapat hidup di luar
kandungan, mempunyai berat badan 297 gram waktu lahir. Akan tetapi, karena
jarangnya janin yang dilahirkan dengan berat badan di bawah 500 gram dapat
hidup terus, maka abortus ditentukan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum
janin mencapai berat 500 gram atau kurang dari 20 minggu (Sarwono, 2005).
Menurut Fact Abortion, Info Kit on Women’s
Health oleh Institute For Social, Studies anda Action, Maret 1991, dalam
istilah kesehatan” aborsi didefenisikan sebagai penghentian kehamilan setelah
tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi rahim (uterus), sebelum janin
(fetus) mencapai 20 minggu. Aborsi menurut Eastman adalah keadaan terputusnya
suatu kehamilan dimana fetus belum sanggup berdiri sendiri di luar uterus.
Belum sanggup diartikan apabila fetus itu beratnya terletak antara 400 –1000 gr
atau kehamilan kurang dari 28 minggu. Sedangkan menurut Jeffcoat, aborsi yaitu
pengeluaran dari hasil konsepsi sebelum 28 minggu, yaitu fetus belum viable by
law. Dan menurut Holmer, aborsi yaitu terputusnya kehamilan sebelum minggu
ke-16 dimana plasentasi belum selesai. Sehingga dapat dikatakan, aborsi atau
abortus adalah upaya untuk menghilangkan janin hasil konsepsi yang berusia
sekitar 20 minggu dan berukuran tertentu
dengan berbagai cara.
2.1.2. Klasifikasi Aborsi
Aborsi terbagi menjadi beberapa jenis. Berikut
adalah macam-macam aborsi:
a. Aborsi/ Pengguguran kandungan Procured
Abortion/ Aborsi Prvocatus/ Induced Abortion, yaitu penghentian hasil kehamilan
dari rahim sebelum janin bisa hidup diluar kandungan.
b. Miscarringe/ Keguguran, yaitu terhentinya
kehamilan sebelum bayi hidup di luar kandungan (viabilty).
c. Aborsi Therapeutic/ Medicalis, adalah
penghentian kehamilan dengan indikasi medis untuk menyelamatkan nyawa ibu, atau
tubuhnya yang tidak bisa dikembalikan.
d. Aborsi Kriminalis, adalah penghentian
kehamilan sebelum janin bisa hidup di luar kandungan dengan alasan-alasan lain,
selain therapeutik, dan dilarang oleh hukum.
e. Aborsi Eugenetik, adalah penghentian
kehamilan untuk meghindari kelahiran bayi yang cacat atau bayi yang mempunyai
penyakit ginetis. Eugenisme adalah ideologi yang diterapkan untuk mendapatkan
keturunan hanya yang unggul saja.
f. Aborsi langsung - tak langsung, adalah
tindakan (intervensi medis) yang tujuannya secara langsung ingin membunuh janin
yang ada dalam rahim sang ibu. Sedangkan aborsi tak langsung ialah suatu tindakan
(intervensi medis) yang mengakibatkan aborsi, meskipun aborsinya sendiri tidak
dimaksudkan dan bukan jadi tujuan dalam tindakan itu.
g. Selective Abortion, adalah penghentian
kehamilan karena janin yang dikandung tidak
memenuhi kriteria yang diiginkan. Aborsi ini banyak dilakukan wanita yang
mengadakan ”Pre natal diagnosis” yakni diagnosis janin ketika ia masih ada di
dalam kandungan.
h. Embryo reduction (pengurangan embrio),
pengguguran janin dengan menyisahkan satu atau dua janin saja, karena
dikhawatirkan mengalami hambatan perkembangan, atau bahkan tidak sehat perkembanganya.
i. Partia Birth Abortion, merupakan istilah
politis/hukum yang dalam istilah medis dikenal dengan nama dilation and
extaction. Cara ini pertama-tama adalah dengan cara memberikan obat-obatan
kepada wanita hamil, tujuan agar leher rahim terbuka secara prematur.
Sedangkan dalam ilmu kedokteran aborsi dibagi
atas dua golongan (Taber Ben-zion, 1994) yakni sebagai berikut:
a. Aborsi Spontanus atau ilmiah
Aborsi terjadi dengan sendirinya tanpa adanya
pengaruh dari luar baik factor mekanis ataupun medisinalis. Misalnya karena sel
sperma atau sel telur tidak bagus kualitasnya, atau karena ada kelalaian bentuk
rahim. Dapat juga disebabkan oleh karena penyakit, misalnya penyakit syphilis,
infeksiakut dengan disertai demam yang tinggi pada penyakit malaria. Aborsi
spontanus dapat juga terjadi karena sang ibu hamil muda, sementara ia melakukan
pekerjaan yang beratberat ataupun keadaan kandungan yang tidak kuat dalam rahim
karena usia wanita yang terlalu muda hamil utaupun terlalu tua.
Aborsi spontan dibagi atas:
1) Aborsi komplitus, artinya keluarnya seluruh
hasil konsepsi sebelum umur kehamilan lengkap 20 minggu.
2) Aborsi habitualis, artinya aborsi terjadi 3
atau lebih aborsi spontan berturut-turut. Aborsi habitualis ini dapat terjadi
juga jika kadangkala seorang wanita mudah sekali mengalami keguguran yang
disebabkan oleh ganguan dari luar yang amat ringan sekali, misalnya terpeleset,
bermain skipping (meloncat dengan tali), naik kuda, naik sepeda dan lain-lain.
Bila keguguran hampir tiap kali terjadi pada tiap-tiap kehamilan, maka keadaan
ini disebut “aborsi habitualis” yang biasanya terjadi pada kandungan minggu
kelima sampai kelimabelas.
3) Aborsi inkomplitus, artinya keluar sebagian
tetapi tidak seluruh hasil konsepsi sebelum umur kehamilan lengkap 20 minggu.
4) Aborsi diinduksi, yaitu penghentian
kehamilan sengaja dengan cara apa saja sebelum umur kehamilan lengkap 20 minggu
dapat bersifat terapi atau non terapi.
5) Aborsi insipiens, yaitu keadaan perdarahan
dari interauteri yang terjadi dengan dilatasi serviks kontinu dan progresif
tetapi tanpa pengeluaran hasil konsepsi sebelum umur kehamilan 20 minggu.
6) Aborsi terinfeksi, yaitu aborsi yang disertai
infeksi organ genital.
7) Missed Abortion, yaitu aborsi yang embrio
atas janinnya meninggal. Dalam uterus sebelum umur kehamilan lengkap 20 minggu
tetapi hasil konsepsi tertahan dalam uterus selama 8 minggu atau lebih.
8) Aborsi septic, yaitu aborsi yang terinfeksi
dengan penyebaran mikroorganisme dari produknya ke dalam sirkulasi sistematik
ibu.
b. Aborsi Provokatus, yaitu aborsi yang
disengaja, yang dilakukan dengan maksud dan pertimbangan tertentu baik dengan
memakai obat-obatan atau alat karena kandungan tidak dikehendaki. Aborsi
provocatus terdiri dari 1) Provocatus therapeutics/ aborsi medicalis, yaitu
aborsi yang terjadi karena perbuatan manusia. Dapat terjadi baik karena di
dorong oleh alasan medis, misalnya karena wanita yang hamil menderita suatu
penyakit. Aborsi provokatus dapat juga dilakukan pada saat kritis untuk
menolong jiwa si ibu, kehamilan perlu diakhiri, umpamanya pada kehamilan di
luar kandungan, sakit jantung yang parah, penyakit TBC yang parah, tekanan
darah tinggi, kanker payudara, kanker leher rahim. Indikasi untuk melakukan
aborsi provokatus therapeuticum sedikit-dikitnya harus ditentukan oleh dua
orang dokter spesialis, seorang dari ahli kebidanan dan seorang lagi dari ahli
penyakit dalam atau seorang ahli penyakit jantung. 2) Aborsi provokatus
criminalis. Inilah aborsi yang dilakukan dengan sengaja, baik oleh si ibu
maupun oleh orang lain dengan persetujuan si ibu hamil. Hal ini dilakukan
dengan alasan-alasan tertentu, misalnya malu mengandung karena hamil di luar
nikah. Aborsi ini biasanya dilakukan demi kepentingan pelaku, baik itu dari
wanita yang mengaborsikan kandungannya ataupun orang yang melakukan aborsi
seperti dokter secara medis ataupun dilakukan oleh dukun beranak yang hanya
akan mencari keuntungan materi saja.
2.1.3 Dampak Aborsi
Kondisi psikologis pasca aborsi diantaranya
adalah munculnya penyangkalan, perempuan tak mau memikirkan atau membicarakan
hal itu lagi, menjadikan rahasia pribadi, menjadi tertutup, takut didekati,
munculnya perasan tertekan. Wanita yang melakukan aborsi diam-diam, setelah
proses aborsi biasanya akan mengalami Post Abortion Syndrome (PAS) atau sering
juga disebut Post Traumatic Stress Syndrome. Gejala yang sering muncul adalah
depresi, kehilangan kepercayaan diri, merusak diri sendiri, mengalami gangguan
fungsi seksual, bermasalah dalam berhubungan dengan kawan, perubahan
kepribadian yang mencolok, serangan kecemasan, perasaan bersalah dan penyesalan
yang teramat dalam. Mereka juga sering menangis berkepanjangan, sulit tidur,
sering bermimpi buruk, sulit konsentrasi, selalu teringat masa lalu, kehilangan
ketertarikan untuk beraktivitas, dan sulit merasa dekat dengan anak-anak yang
lahir kemudian. Pada saat melakukan aborsi dan setelah melakukan aborsi ada
beberapa resiko yang akan dihadapi seorang wanita, seperti yang dijelaskan
dalam buku “Facts of Life” yang ditulis oleh Brian Clowes,Phd yaitu:
a. Kematian mendadak karena pendarahan hebat
b. Kematian mendadak karena pembiusan yang
gagal
c. Kematian secara lambat akibat infeksi
serius disekitar kandungan
d. Rahim yang sobek (Uterine Perforation)
e. Kerusakan leher rahim (Cervical
Lacerations) yang akan
menyebabkan cacat pada anak berikutnya
f. Kanker payudara (karena ketidakseimbangan
hormon estrogen pada wanita)
g. Kanker indung telur (Ovarian Cancer)
h. Kanker leher rahim (Cervical Cancer)
i. Kanker hati (Liver Cancer)
j. Kelainan pada placenta / ari-ari (Placenta
Previa) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya dan pendarahan hebat
pada saat kehamilan berikutnya
k. Menjadi mandul/tidak mampu memiliki
keturunan lagi (Ectopic Pregnancy)
l. Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory
Disease)
m. Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis)
n.
Infeksi alat reproduksi karena melakukan kuretase (secara medis) yang
dilakukan secara tak steril. Hal ini membuat remaja mengalami kemandulan
dikemudian hari setelah menikah.
o. Pendarahan sehingga remaja dapat mengalami shock akibat pendarahan dan gangguan neurologist. Selain itu pendarahan juga dapat mengakibatkan kematian ibu maupun anak atau keduanya.
p. Resiko terjadinya reptur uterus atau robeknya rahim lebih besar dan menipisnya dinding rahim akibat kuretase. Kemandulan oleh karena robeknya rahim, resiko infeksi, resiko shock sampai resiko kematian ibu dan anak yang dikandungnya.
q. Terjadinya fistula genital traumatis adalah suatu saluran atau hubungan antara genital dan saluran kencing atau saluran pencernaan yang secara normal tidak ada.(Kinanti)
o. Pendarahan sehingga remaja dapat mengalami shock akibat pendarahan dan gangguan neurologist. Selain itu pendarahan juga dapat mengakibatkan kematian ibu maupun anak atau keduanya.
p. Resiko terjadinya reptur uterus atau robeknya rahim lebih besar dan menipisnya dinding rahim akibat kuretase. Kemandulan oleh karena robeknya rahim, resiko infeksi, resiko shock sampai resiko kematian ibu dan anak yang dikandungnya.
q. Terjadinya fistula genital traumatis adalah suatu saluran atau hubungan antara genital dan saluran kencing atau saluran pencernaan yang secara normal tidak ada.(Kinanti)
Proses aborsi bukan saja suatu proses yang
memiliki resiko tinggi dari segi kesehatan dan keselamatan seorang wanita
secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang sangat hebat terhadap keadaan
mental seorang wanita. Gejala ini dikenal dalam dunia psikologi sebagai
“Post-Abortion Syndrome” (Sindrom Paska - Aborsi) atau PAS. Gejala-gejala ini
dicatat dalam “Psychological Reactions Reported After Abortion” di dalam
penerbitan The Post - Abortion Review (1994).
Pada dasarnya seorang wanita yang melakukan
aborsi akan mengalami hal-hal seperti berikut ini:
a. Kehilangan harga diri (82%)
b. Berteriak-teriak histeris (51%)
c. Mimpi buruk berkali - kali mengenai bayi
(63%)
d. Ingin melakukan bunuh diri (28%)
e. Mulai mencoba menggunakan obat - obat
terlarang (41%)
2.2. Perkosaan
2.2.1 pengertian Perkosaan
Perkosaan (rape)
berasal dari bahasa latin rapere yang
berarti mencuri, memaksa, merampas atau membawa pergi. (Haryanto,1997)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkosaan
berasal dari kata “perkosa” yang berarti paksa, gagah, kuat,, perkasa.
Sedangkan pemerkosaan diartikan sebagai proses, cara, perbuatan mempekosa,
melanggar dengan kekerasan. Menurut Rifka Annisa Women’s Crisis Center, bahwa
perkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan seksual dan tidak selalu
persetubuhan akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan
alat kelamin seperti oral seks, anal seks (sodomi), perusakan alat kelamin dan
lain-lain. Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah perkawinan. (Idrus, 1999)
Sedangkan menurut Sofwan dahlan, perkosaan
adalah perbuatan bersenggama yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan
(force), menciptakan ketakutan (fear) atau dengan cara memperdaya (fraud).
(Sofwan,2000)
2.2.2. Klasifikasi
Perkosaan
Pembagian perkosaan
berdasarkan sifatnya adalah sebagai berikut:
1) sadistic rape, tipe perkosaan yang memadukan
unsur seksualitas dan agresifitas dalam kekerasan yang merusak.
2) Anger rape, perkosaan yang dilakukan sebagai
pelampiasan atas kemarahan
3) Domination rape, pekosaan yang dilakukan untuk
menunjukkan superioritas pelaku.
4) Seductive rape, perkosaan yang terjadi dengan
korban sebagai faktur pencetus atau faktor yang memicu terjadinya perkosaan.
2.2.3
Faktor Penyebab Perkosaan
Banyak faktor yang melatarbelakangi dan berpengaruh terhadap
seseorang hingga melakukan tindak kejahatan, bahkan mengulanginya sampai
beberapa kali. Dalam analisis sebuah penelitian, telah diteliti variable-variabel
yang diduga berpengaruh pada tindak kejahatan berulang. Variabel-variabel
tersebut dikelompokkan dalam tiga kelompok variabel sesuai dengan sifatnya
yaitu:
(1) Kelompok variabel karakteristik dan moral
Kelompok ini terdiri dari 5 variabel yang meliputi:
a. umur,
b. pendidikan,
c. kedudukan dalam rumah tangga,
d. ketaatan beribadah, dan
e. intensitas minum-minuman keras.
(1) Kelompok variabel karakteristik dan moral
Kelompok ini terdiri dari 5 variabel yang meliputi:
a. umur,
b. pendidikan,
c. kedudukan dalam rumah tangga,
d. ketaatan beribadah, dan
e. intensitas minum-minuman keras.
(2) Kelompok variabel ekonomi
Kelompok ini terdiri dari 4 variabel yang meliputi:
a. sumber pendapatan,
b. rata-rata pendapatan,
c. beban tanggungan, dan
d. kecukupan biaya hidup.
(3) Kelompok variabel lingkungan tempat tinggal clan pergaulan
Kelompok ini terdiri dari 4 variabel yang meliputi:
a. teman pergaulan sehari-hari,
b. kebiasaan menghabiskan waktu,
c. intensitas interaksi dengan tempat potensi kejahatan, dan
d. keamanan lingkungan tempat tinggal.
Selain
itu juga terdapat faktor-faktor penyebab terjadinya permasalahan
pemerkosaan seperti berikut:
1. Faktor intern yaitu:
a. Keluarga,
b. Ekonomi keluarga,
c. Tingkat pendidikan,
d. Agama/moral,
2. Faktor ekstern,meliputi :
a. lingkungan sosial,
b. perkembangan ipteks,
c. kesempatan,
2.2.4 Dampak Pemerkosaan
Beberapa akibat / efek dampak buruk pada korban pemerkosaan :
A. Menjadi stress hingga mengalami gangguan jiwa
B. Cidera ata luka-luka akibat penganiayaan
C. Kehilangan keperawanan / kesucian
D. Menjadi trauma pada laki-laki dan hubungan seksual
E. Bisa menjadi seorang lesbian atau homo yang menyukai sesama
jenis
F. Masa depan suram karena dikanal sebagai korban perkosaan
G. Sulit mencari jodoh karena sudah tidak perawan
H. Bisa membalas dendam pada oang lain
I. Hamil di luar nikah yang sangat tidak diinginkan
J. Anak hasil perkosaan bisa dibenci orang tua, kerabat, tetangga,
dll
K. Merusak mental seorang anak karena belum waktunya mengenal seks
L. Menjadi pasrah dan terus melakukan hubungan seks pranihah
M. Merasa kotor dan akhirnya terjun sebagai psk untuk mendapat
uang.
N. dikucilkan dalam masyarakat
O. dipandang buruk
P.
Terkena penyakit menular seksual yang berbahaya, dll
Perkosaan
sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik
secara halus maupun kasar. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial bagi
perempuan yang menjadi korban perkosaan tersebut. Hubungan seksual seharusnya
dilakukan dengan adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari
pasangan yang akan melakukannya. Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak
wajar, apalagi dengan cara paksaan akan menyebabkan gangguan pada perilaku
seksual (Koesnadi, 1992). Sementara itu, korban perkosaan berpotensi untuk
mengalami trauma yang cukup parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan
suatu hal yang membuat shock bagi korban. Goncangan kejiwaan dapat dialami pada
saat perkosaan maupun sesudahnya.Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan
reaksi-reaksi fisik (Taslim, 1995). Secara umum peristiwa tersebut dapat
menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan
suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati,
2000). Korban perkosaan dapat menjadi murung, menangis, mengucilkan diri,
menyesali diri, merasa takut, dan sebagainya
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Fakta
Aborsi dan Perkosaan
Aborsi
yang dilakukan di Indonesia kebanyakan merupakan aborsi gelap atau aborsi tidak
aman. Aborsi yang tidak aman adalah penghentian kehamilan yang tidak diinginkan
yang dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih, atau tidak mengikuti prosedur
kesehatan atau kedua-duanya (Definisi WHO). Dari 46 juta aborsi/tahun, 20 juta
dilakukan dengan tidak aman, 800 wanita diantaranya meninggal karena komplikasi
aborsi tidak aman dan sekurangnya 13 persen kontribusi Angka Kematian Ibu
Global (AGI, 1997; WHO 1998a; AGI, 1999). WHO memperkirakan ada 4,2 juta aborsi
dilakukan per tahun, 750.000 – 1,5 juta dilakukan di Indonesia, 2.500 orang
diantaranya berakhir dengan kematian (Wijono, 2000). Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, aborsi memberi kontribusi 11,1% terhadap Angka
kematian Ibu (AKI) , sedangkan menurut Rosenfield dan Fathalla (1990) sebesar
10% (Wijono, 2000).
Menurut CIA World Factbook angka kelahiran Indonesia 18.1 per 1000
penduduk. Jumlah penduduk Indonesia 240 juta, jadi jumlah kelahiran sekitar
4,344 juta. jika misal 37 aborsi per 1000, maka total aborsi 1,6 juta. Secara
umum, frekuensi terjadinya aborsi sangat sulit dihitung secara akurat, karena
aborsi buatan sangat sering terjadi tanpa dilaporkan – kecuali jika
terjadi komplikasi, sehingga perlu perawatan di Rumah Sakit. Akan tetapi,
berdasarkan perkiraan dari BKBN, ada sekitar 2.000.000 kasus aborsi yang
terjadi setiap tahunnya di Indonesia. Berarti ada 2.000.000 nyawa yang dibunuh
setiap tahunnya secara keji tanpa banyak yang tahu.
Berikut ini adalah angka aborsi di Indonesia
dari berbagai sumber yang tersedia:
Aborsi per tahun
|
Remaja
|
Tahun
|
Lain-lain
|
Sumber
|
Tautan
|
2,4 juta
|
800 ribu
|
2010
|
BKKBN
|
||
2 juta per tahun menurut
|
|||||
2,5 juta
|
|||||
1 ~ 2 juta
|
2011
|
Prof. Dr. Muhadjir Darwin,
MPA
|
|||
2 juta per tahun, 37
aborsi / 1000 perempuan usia reproduksi,
|
2000
|
||||
2 ~ 2,6 juta aborsi per
tahun. 43 aborsi setiap 100 kehamilan.
|
2009
|
||||
2,3 juta per tahun
|
30% dari 2,3 juta
|
Kehamilan Tidak Diinginkan
(KTD) remaja 150.000 ~ 200.000 per tahun.
|
|||
2,3 juta
|
750.000
|
2004
|
Medical-Journal,
Soetjiningsih, 2004
|
||
2 juta
|
70000
|
2000
|
Parawansa
|
||
2,3 juta
|
2000
|
Azwar 2
|
|||
2,5 juta
|
Nugraha BD
|
||||
43 aborsi per 100
kelahiran
|
2001
|
Utomo, B
|
|||
2,5 juta
|
2010
|
Maya Trisiswati Ch
|
Di Indonesia, dari 2,5 juta orang melakukan aborsi,
1,5 juta di antaranya dilakukan remaja. Data Komisi Perlindungan Anak pada
tahun 2011 ada 86 kasus dan meningkat menjadi 121 kasus pada tahun 2012, dimana
pelaku aborsi tersebut adalah anak usia di bawah 18 tahun sebagai akibat gaul
bebas yang menjadi life style remaja saat ini. Penelitian PPKLP-UI tahun 2001
pada 10 kota besar dan 6 kabupaten memperlihatkan 53 % jumlah aborsi terjadi di
kota, padahal penduduk kota 1,36 kali lebih kecil dari pedesaan dan pelayan
aborsi dilakukan oleh tenaga tidak terlatih terdapat di 16% titik pelayanan
aborsi di kota oleh dukun bayi dan 57% di Kabupaten. Kasus aborsi yang
ditangani dukun bayi sebesar 11% di kota dan 70 % di Kabupaten dan dari semua
titik pelayanan 54% di kota dan 85% di Kabupaten dilakukan oleh swasta/pribadi. Dari beberapa sumber didapat informasi juga
bahwa banyak kasus aborsi terjadi pada orang yang sudah berkeluarga, terutama
karena anak yang tidak diinginkan (sudah banyak). Selain itu sebuah studi di
Bali menemukan bahwa 71 % perempuan yang melakukan aborsi adalah perempuan
menikah (Dewi, 1997), juga studi yang dilakukan oleh Population Council, 98,8 %
perempuan yang melakukan aborsi di sebuah klinik swasta di Jakarta, telah
menikah dan rata-rata sudah memiliki anak (Herdayati, 1998), alasan yang umum
adalah karena sudah tidak ingin memiliki anak lagi, seperti hasil survey yang
dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS), 75 % wanita usia reproduksi berstatus
kawin tidak menginginkan tambahan anak (BPS, Dep.Kes1988). Jadi aborsi tidak murni terjadi karena
hubungan seks luar nikah.
Tindak pidana perkosaan diatur dalam Pasal 285
KUHP,BabXIV tentang Kejahatan Kesusilaan, yang berbunyi sebagai berikut:
“Barang siapa degan kekrasan atau ancaman
kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar pernikahan,
diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun. “
Kemudian dalam pasal 285 disebutkan bahwa
korban perkosaan adalah wanita dengan berbagai usia, sedangkan dalam pasal 286
disebutkan objek perkosaan adalah wanita yang pingsan atau tidak berdaya dan
pada pasal 287 objek perkosaan adalah wanita yang belum berusisa 15 tahun.
Pembuktian tindak pidana perkosaan di
pangadilan bergantung pada penyedik dan penuntut umum dalam menunjukkan
bukti-bukti dan dalam prosesnya tidak mudah karena penyelidikan meliputi
berbagai hal baik bukti fisik (atopsi), saksi mata, barang bukti dan lain-lain.
Sehingga tidak jarang karena satu dan lain hal banyak wanita korban perkosaan
yang enggan untuk melaporkan tindak kejahatan ini kepada pihak yang berwenang.
3.2. Pro dan
Kontra Legalisasi Aborsi Bagi Korban Perkosaan yang Hamil
Mantan Presiden
Susilo Bambang Yudoyono telah
menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi pada 21 Juli 2014. Peraturan ini menuai banyak pendapat
dikalangan masyarakat, hal ini disebabkan adanya pasal yang mengatur tentang
legalisasi aborsi bagi wanita hamil yang menjadi korban perkosaan. Pasal-pasal
mengenai aborsi untu korban perkosaan dalam PP 61/2014 adalah pasal 29, pasal
31, dan pasal 34. Berikut adalah bunyi pasal tersebut:
Pasal 29:
1.
Korban kekerasan
seksual harus ditangani secara multidisiplin dengan memperhatikan aspek hukum,
keamanan dan keselamatan serta kesehatan fisik, mental dan seksual.
2.
Penanganan aspek
hukum, kemanan dan keselamatan sebagaimana pada ayat (1) meliputi :
-
Upaya perlindungan dan
penyelamatan korban,
-
Upaya forensic untuk
pembuktian, dan
-
Identifikasi pelaku.
3.
Penanganan aspek kesehatan,
fisik, mental dan seksual pada korban kekerasan seksual sebagaimana dimaksud
ayat (1) meliputi:
-
Pemeriksaan fisik,
mental dan penunjang,
-
Pengobatan luka
dan/atau cidera
-
Pencegahan dan/atau
penanganan penyakit menular seksual,
-
Pencegahan dan/atau
penanganan kehamilan,
-
Terapi psikiatris dan
psikoterapi, dan
-
Rehabilitasi
psikososial
4.
Ketentuan mengenai
penangan korban kekerasan seksual dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 31:
1.
Tindakan aborsi hanya
dapat dilakukan berdasarkan:
-
Indikasi kedaruratan
medis
-
Kehamilan akibat
perkosaan
2.
Tindakan aborsi akibat
perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia
kehamilan paling lama 40 hari dihitung hari pertama haid terakhir.
Pasal 34:
1.
Kehamilan akibat
perkosaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 ayat (1) huruf b merupakan
kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.
Kehamilan akibat
perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
-
Usia kehailan sesuai
dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter
-
Keterangan penyidik,
psikolog dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.
Pasal 35
1.
Aborsi kehamilan
akibat perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu dan bertanggung jawab
Wanita yang akan
melakukan aborsi berhak mendapatkan konseling. Berikut adalah pasal yang
mengatur konseling pra melakukan tindakan aborsi:
Pasal 37 ayat(3)
a.
menjajaki kebutuhan
dari perempuan yang ingin melakukan aborsi
b.
menyampaikan dan menjelaskan
kepada perempuan yang ingin melakukan aborsi bahwa tindakan aborsi dapat atau
tidak dapat dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
penunjang
c.
mnjelaskan tahapan
tindakan aborsi yang akan dilakukan dan kemungkinan efek samping atau
komplikasinya
d.
membantu perempuan
yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil keputusan sendiri untukmelakukan
aborsi atau membatakkan keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan
informasi mengenai aborsi
e.
menilai kesiapan
pasien untuk menjalani aborsi
Pasal
yangmengatur konseling pasca pelaksanaan tindakan aborsi adalah sebagai
berikut:
Pasal
37 ayat (4)
a.
menobservasi dan
mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi
b.
membantupasien untuk
memahami keadaan atau kondisi fisik setelah menjalani aborsi
c.
menjelaskan perlunya
kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan konseling lanjutan atau tindakan rujukan
bila diperlukan
d.
menjelaskan pentingnya
penggunaan aat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya kehamilan
Tindakan
konseling maupun tindakan aborsi yang dilakukan ditangani oleh tim ahli yang
dilatih terlebih dahulu baik ditingkat pusat maupun daerah sehingga dapat
melakukan tindakan yang tepat.
Peraturan
perundang-undangan ini dianggap memiliki banyak kelamahan yakni sebagai
berikut:
1.
Pengaturan tentang
penanganan korban perkosaan pada ayat (3) pasal 29 belum dapat menjelaskan
secara detail mengenai prosedur, pembiayaan, tahapannya serta perlindungannya.
2.
Aborsi hanya dapat
dilakukan pada usia kehamilan kurang dari 40 hari dari hari pertama terakhir
haid, sedangkan pembuktian kasus perkosaan tidaklah cepat dan mudah sehingga
waktu tersebut dirasa terlalu cepat. Selain itu, banyak korban yang merasa
enggan dan lambat dalam melakukan pelaporan karena satu dan banyak hal misalnya
faktor malu, takut dan ketidak tahuan.
3.
Tidak adanya kejelasan
mengenai pembiayaan pemeriksaan dan layanan kesehatan bagi korban perkosaan dan
kekerasan seksual lainnya.
Peraturan ini kemudian
menjadi kontroversi dalam berbagai kalangan. Berikut adalah alasan dari
pihak-pihak yang menentang adanya peraturan legalisasi aborsi:
1. Undang-undang
aborsi dianggap menentang dan melanggar hak hidup anak, seperti yang telah
diatur dalam Pasal 1 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. “Anak
itu termasuk yang masih di dalam kandungan hingga berusia 18 tahun , dan negara
wajib melindunginya.”
2. Dari
faktor kriminogen, peraturan yang dimaksudkan untuk perlindungan, tapi nantinya
justru menciptakan kejahatan baru. Para wanita justru mencari cara agar diri
seakan diperkosa dan melakukan aborsi, padahal kehamilan itu didasarkan kepada
hubungan gelap. Apalagi dengan batas 40 hari yang diperbolehkan melakukan
aborsi, dokter yang melakukan tidak akan mungkin memaksa untuk meminta surat
keterangan kepolisian terkait korban perkosaan. Karena, biasanya butuh proses
yang panjang (lebih dari 40 hari) untuk menetapkan seseorang diperkosa
(pemberkasan).
3.
PP ini rawan
diselewengkan dan akan memicu pergaulan bebas. Tanpa adanya PP tersebut pun,
praktik aborsi sudah begitu marak, termasuk yang dilakukan oleh dukun-dukun
kandungan.
4.
Tindakan aborsi
bertentangan degan sumpah dan kode etik dokter karena dokter hanya boleh dan
akan mengaborsi karena indikasi medis yakni kehamilan yang membahayakan jiwa
ibu dan janin. Sedangkan kehamilan hasil perkosaan bukan merupakan domain
dokter namun masuk dalam persoalaan hukum.
5.
Dampak yang
ditimbulkan dari praktek aborsi tidak kalah kompleksnya dengan dampak perkosaan
itu sendiri sehingga adanya legalisasi aborsi akibat perkosaan akan menambah
kompleks permasalahan yang akan dihadapi korban baik secara fisik mapun
psikologis.
6.
Tahapan pembuktian
adanya dugaan perkosaan membutuhkan waktu yang tidak sebentar sedangkan waktu
pembolehan aborsi hanya 40 hari sejak hari pertama terakhir haid, maka sebelum
divonis benar-benar menjadi korban perkosaan korban justru akan kehilangan
kesempatannya untuk melakukan aborsi.
7.
Legalisasi aborsi
akibat perkosaan akan memicu kehamilan tak diinginkan lainnya -seperti akibat
perzinahan, kehamilan yang dianggap menghambat karir, kerja dan kehamilan lain
yang tidak diinginkan- untuk menuntut legalisasi aborsi.
8. Legalisasi aborsi menentang peraturan tentang
aborsi, yakni Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa aborsi dengan alasan apapun merupakan
bentuk kejahatan tersendiri yang jelas diatur dalam.
Sedangkan
alasan pihak-pihak yang setuju dengan adanya peraturan ini mengemukakan
alasannya seperti berikut:
1. Aborsi menjadi legal karena angka kematian ibu pada
saat melahirkan anak di Indonesia tertinggi di Asia. Dari 100 ribu kelahiran
ada 300 lebih ibu yang meninggal dunia dan 50% diakibatkan oleh aborsi tidak
aman karena sembunyi dan tidak steril. Itulah sebabnya diperlukan pengaturan
diijinkannya aborsi yang aman (safe abortion).
2. Legalisasi aborsi telah sesuai dengan fatwa MUI pada
tahun 2005 yang membolehkan aborsi dengan syarat janin belum memiliki roh dan
jiwa atau sebelum 40 hari dan hanya dilakukan atas alasan darurat medis atau
hamil akibat pemerkosaan karena ini mengancam keselamatan jiwa si ibu dari sisi
psikis.
3. Aborsi merupakan hak yang dimiliki oleh korban
perkosaan namun penerapan aborsi harus pula diikuti dengan mempertimbangkan
ajaran agama korban perkosaan terkait penerapan aborsi ini tapi keputusan untuk
melakukan aborsi tetap berada di tangan korban perkosaan, kemudian perlu ada
pembuktian hukum kuat bagi pihak yang melakukan aborsi.
4. Legalisasi aborsi tersebut tidak bertentangan dengan
HAM karena konsep HAM hanya mengatur hak hidup, dan hak hidup tidak bisa
digantikan. PP Kesehatan Reproduksi memberikan pengecualian untuk pertimbangan
indikasi medis dan korban perkosaan, di mana perempuan sendiri menjadi korban
dan hal itu tidak melanggar HAM.
5. PP ini justru lebih melindungi perempuan dan mencegah
perempuan kembali ke dukun untuk melakukan aborsi dengan sembarangan proses
yang berakibat pada hilangnya nyawa
6. Peraturan pemerintah ini diharapkan mampu melindungi
kesehatan reproduksi sebagai hak dasar perempuan yang menjadi bagian dari Hak
Asasi Manusia (HAM). Pelegalan aborsi untuk perempuan korban pemerkosaan
dilakukan dengan pertimbangan korban memiliki trauma yang cukup panjang, masih
di bawah umur dan mereka tidak siap untuk punya anak.
7. Peraturan perundang-undangan telah mengatur berbagai
tindakan yang harus dilakukan sebelum dan setelah tindakan aborsi termasuk
konseling dan kesiapan mental dan fisik korban sehingga peraturan ini dianggap
lengkap dan dapat meminimallisir segala persoalan yang mungkin timbul setelah
tindakan aborsi
Di
negara-negara maju seperti amerika serikat legalisasi aborsi masih
dipertimbangan dengan matang, buktinya hanya 20 negara bagian yang melegalkan
tindakan ini sedangkan 30 negara bagian lainnya melarang tindakan aborsi ini.
Pelegalan aborsi di amerika serikat dibatasi hanya pada aborsi terhadap
kehamilan hasil perkosaan dan persinahan. Selain itu permasalahan perkosaan
bukan hanya permasalahan hukum namun permasalahan social dan budaya. Faktor kultur
masyarakat menjadi determinan yang ikut menentukan penyelesaian hukum tindak
pidana perkosaan tersebut. Faktor kultural tersebut ternyata justru menjadi
hambatan dalam penyelesaian hukum disamping karakteristik peristiwa perkosaan
itu sendiri yang membuat ketentuan yuridis positif menjadi sangat terbatas
untuk menjangkaunya. Tindak kejahatan seksual ini dianggap sebagai sebuah “aib”
yang harus ditutupi dan dijaga kerahasiannya sehingga kultur ini membuat korban
enggan dan merasa malu untuk mengungkapkan tindak kejahatan seksual dan membuat
proses pembuktian serta penyidikan semakin sulit.
3.3.
Solusi
Solusi yang diajukan untuk menyelesaikan persengkataan ini adalah
:
1. Mempertegas dan memperberat hukuman bagi
pelaku pelecehan seksual khususnya perkosaan
2. Melakukan pendampingan, konseling serta
rehabilitasi bagi wanita korban perkosaan agar siap menerima keberadaan bayi
yang dilahirkan
3. Pemberian bantuan mental dan recovery bagi
korban serta jaminan kesalamatan bagi bayi yang nantinya dilahirkan. Bila
kemudian korban perkosaan tidak menginginkan bayi yang telah dilahirkan maka
kemudian bayi tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah.
4. Dilakukan sosialisasi secara menyeluruh dan
kontinyu tentang perundang-undangan yang ada serta prosedur, tahapan dan
kejelasan biaya –diharapkan negara memberikan fasilitas lebih kepada korban
sehingga dapat mendapatkan layanan kesehatan secara gratis dan mudah-.
Sosialisasi diharapkan mampu membantu pemahaman masyarakat tentang aborsi
dengan semua dampak positif dan negatifnya.
5.
Membatasi
dan mengatur segala sesuatu yang dapat memicu terjadinya tindak kejahatan
perkosaan dan/atau kejahatan seksual lainnya, misalnya membatasi peredaran
situs porno, mempertegas batasan dan sanksi tindak pornografi dan pornoaksi, melarang fasilitas kemaksiatan termasuk diantaranya
peraturan berpakaian, penjualan minuman-minuman serta obat-obatan dan melarang hal-hal yang membangkitkan nafsu
seksual,”
6. Pelaku pidana yang melarikan diri diharapkan
tidak akan menghambat pelaksanaan perundang-undangan karena diharapkan sidang
dapat dilakukan tanpa kehadiran pelaku.
7. Mengkaji kembali batasan perundangan tentang
perzinahan, agar pelaku perzinahan yang didasarkan atas suka sama suka yang
kemudian merasa dirugikan karena perbuatannya dan ingin melakukan aborsi dengan
dalih sebagai korban perkosaan juga dapat ditindak lanjuti dan diberikan solusi
yang nyata secara hukum agar tidak ada kerancuan dengan undang-undang yang ada
ini.
8. Penyidikan, pemeriksaan pembuktian serta
penyelesaian hukum tindak kejahatan perkosaan ditangani oleh pihak-pihak khusus
sehingga waktu yang dibutuhkan untuk melakukan segala proses hukum tersebut
tidak lebih dari 30 hari dan korban dapat mendapatkan kesempatan untuk
melakukan aborsi sesuai perundang-undangan tepat waktu.
9. Dilakukan pendampingan dan konseling bagi
remaja dan/atau pelajar agar tidak melakukan seks pranikah.
10. Melakukan tindakan hukum yang tegas dan pantas
bagi tenaga medis dan/atau dukun dan semua pelaku yang membantu proses aborsi
gelap untuk mencegah terjadinya kesalahan aborsi yang mengakibatkan kematian
dan komplikasi lainnya.
11. Adanya kejelasan tentang batasan hak anak dan
hukum aborsi, sehingga tidak ada tumpang tindih peraturan perundangan-undangan
yang dianggap bersebrangan.
BAB IV
KESIMPULAN
Aborsi atau abortus adalah upaya untuk
menghilangkan janin hasil konsepsi yang berusia sekitar 20 minggu dan berukuran tertentu dengan berbagai cara.
Sedangkan perkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan seksual dan tidak
selalu persetubuhan akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang
melibatkan alat kelamin seperti oral seks, anal seks (sodomi), perusakan alat
kelamin dan lain-lain. Korban perkosaan yang mengakibatkan kehamilan kemudian
dilindungi oleh PP 61/2014 adalah
pasal 29, pasal 31, pasal 34, pasal 35 dan pasal 36. Berbagai pandangan tentang
pro dan kotra perundang-undangan ini diharapkan mampu memberikan kritik
konstruktif bagi seluruh pihak sehingga pasal-pasal yang berkaitan dengan
aborsi ini diharapkan dapat dikaji ulang sehingga tidak ada tumpang tindih
dengan perturan lain sperti peraturan mengenai hak anak (Pasal 1 UU Nomor 23 Tahun 2002) dan larangan aborsi (Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP)) serta dilakukan konseling terhadap remaja/pelajar dan rehabilitasi korban
kejahatan seksual perkosaan. Perundang-undangan
ini disosialisasikan dan diringi dengan adanya tindakan hukum yang tegas dan
keras terhadap segala tindakan kejahatan seksual dan faktor-faktor pemicunya
serta tenaga media maupun dukun yang membantu aborsi gelap. Proses hukum tindak
perkosaan diharapkan dibuat semudah mungkin dan sevalid mungkin agar tidak
menghalangi tindak aborsi dan merugikan berbagai pihak. Adanya kejelasan
pembiayaan layanan kesehatan bagi korban perkosaan, tahapan serta prosedurnya.