Jumat, 16 Januari 2015

LEGALISASI ABORSI

Edit Posted by with 1 comment
UNDANG-UNDANG ABORSI SEBAGAI SOLUSI KEJAHATAN PERKOSAAN?
MAKALAH
diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi 
Dosen Pengampu :

oleh
Laela Nurjanah (120482)




JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Dalam era globalisasi segala sesuatu semakin mudah diakses, tidak lagi ada batasan ruang dan waktu. Akses berbagai informasi dapat dengan mudah dan cepat dilakukan dimanapun dan oleh siapapun. Dalam zaman internet ini segala macam situs tidak edukatif marak dan merajalela dan berdampak pada terjadinya pergesaran pola pikir, sikap serta budaya masyarakat. Perbincangan demoralisasi menjadi topik utama sebagai dampak dari berbagai permasalahan social, politik, ekonomi, pendidikan bahkan agama.  Banyak kasus kejahatan seperti pelecehan seksual bahkan perkosaan yang salah satunya dipicu oleh kemudahan akses situs-situs dewasa ataupun segala sesuatu yang kemudian disebut sebagai pornografi dan pornoaksi. Permasalahan penurunan moral ini kemudian menjadi permasalahan serius karena akibatnya yang sangat merugikan bagi masa depan generasi muda bangsa. Pemerintah sebagai pihak yang paling dianggap bertanggung jawab dalam membentuk segala peraturan dan kebijakan diharapkan mampu mengurangi dan menghilangkan berbagai permasalahan moral ini.
Mantan Presiden Susilo Bambang Yudoyono telah  menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi pada 21 Juli 2014 lalu. Undang-undang ini mengatur berbagai permasalahan kesehatan reproduksi namun yang menjadi permasalahan adalah adanya pasal dalam undang-undang tersebut yang dianggap melegalkan kegiatan pengguguran janin bagi korban perkosaan. Undang-undang ini kemudian menjadi sorotan oleh berbagai pihak.
Perkosaan dapat menimpa siapa saja, remaja, pelajar, ibu-ibu bahkan anak kecil. Perkosaan menurut Sofwan Dahlan adalah perbuatan bersenggama yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan (force), menciptakan ketakutan (fear) atau dengan cara memperdaya (fraud). (Sofwan,2000) Pemaksaan ini kerap kali menimbulkan dampak psikologis dan fisik serius. Trauma dan stress berkepanjangan menjadi dampak yang sangat mungkin diterima oleh korban bahkan penyebaran penyakit seks juga sangat mungkin terjadi. Bahkan tidak jarang korban perkosaan hamil dan hal ini menambah panjang deretan dampak yang mungkin ditimbulkan dari bentuk kejahatan yang tak bermoral ini. Sebagai warga negara korban perkosaan berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan jiwanya, sehingga pemerintah kemudian membentuk peraturan yang memperbolehkan wanita korban perkosaan yang hamil untuk melakukan aborsi. Sedangkan aborsi dengan alasan apapun merupakan bentuk kejahatan tersendiri yang jelas diatur dalam Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) selain itu menghilangkan nyawa anak dalam kandungan juga dianggap melanggar hak hidup anak, seperti yang telah diatur dalam Pasal 1 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sehingga peraturan pemerintah tentang legalisasi aborsi bagi korban perkosaan ini menjadi kontroversi diberbagai kalangan.
Oleh karena itu, dalam makalah yang berjudul “UU Aborsi Sebagai Solusi Kejahatan Perkosaan?” akan dibahas mengenai pro dan kontra undang-undang tersebut dan berbagai pertimbangan yang menyertainya.


1.2.Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      bagaimana fakta-fakta tentang perkosaan dan aborsi?
2.      apakah pertimbangan penerimaan undang-undang?
3.      apakah pertimbangan penolakan undang-undang?
4.      bagaimana solusi dalam penyelesaian permasalahan legalisasi aborsi?

1.3. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah adalah sebagai berikut:
1.      mengetahui fakta-fakta tentang perkosaan dan aborsi
2.      mengetahui pertimbangan penerimaan undang-undang
3.      mengetahui pertimbangan penolakan undang-undang
4.      mengetahui solusi dalam penyelesaian permasalahan legalisasi aborsi






BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Aborsi
2.1.1 Pengertian Aborsi
Dalam  Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia, aborsi  adalah  pengguguran  kandungan.
Aborsi  adalah  terminasi   kehamilan  yang tidak  diinginkan  melalui  metode  obat-obatan
atau  bedah. 
Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah ”aborsi”, berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup diluar kandungan. Aborsi provocatus merupakan istilah lain yang secara resmi dipakai dalam kalangan kedokteran dan hukum. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh. Menurut pandangan medis, abortus adalah berakhirnya kehamilan melalui cara apapun sebelum  janin mampu bertahan hidup pada usia kehamilan sebelum 20 minggu  didasarkan pada tanggal hari pertama haid normal terakhir atau berat janin kurang dari 500 gram ( Obstetri Williams, 2006).  Istilah abortus dipakai untuk menunjukkan pengeluaran hasil konsepsi  sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sampai saat ini janin yang terkecil, yang dilaporkan dapat hidup di luar kandungan, mempunyai berat badan 297 gram waktu lahir. Akan tetapi, karena jarangnya janin yang dilahirkan dengan berat badan di bawah 500 gram dapat hidup terus, maka abortus ditentukan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau kurang dari 20 minggu (Sarwono, 2005).
Menurut Fact Abortion, Info Kit on Women’s Health oleh Institute For Social, Studies anda Action, Maret 1991, dalam istilah kesehatan” aborsi didefenisikan sebagai penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi rahim (uterus), sebelum janin (fetus) mencapai 20 minggu. Aborsi menurut Eastman adalah keadaan terputusnya suatu kehamilan dimana fetus belum sanggup berdiri sendiri di luar uterus. Belum sanggup diartikan apabila fetus itu beratnya terletak antara 400 –1000 gr atau kehamilan kurang dari 28 minggu. Sedangkan menurut Jeffcoat, aborsi yaitu pengeluaran dari hasil konsepsi sebelum 28 minggu, yaitu fetus belum viable by law. Dan menurut Holmer, aborsi yaitu terputusnya kehamilan sebelum minggu ke-16 dimana plasentasi belum selesai. Sehingga dapat dikatakan, aborsi atau abortus adalah upaya untuk menghilangkan janin hasil konsepsi yang berusia sekitar 20 minggu dan  berukuran tertentu dengan berbagai cara.

2.1.2. Klasifikasi Aborsi
Aborsi terbagi menjadi beberapa jenis. Berikut adalah macam-macam aborsi:
a. Aborsi/ Pengguguran kandungan Procured Abortion/ Aborsi Prvocatus/ Induced Abortion, yaitu penghentian hasil kehamilan dari rahim sebelum janin bisa hidup diluar kandungan.
b. Miscarringe/ Keguguran, yaitu terhentinya kehamilan sebelum bayi hidup di luar kandungan (viabilty).
c. Aborsi Therapeutic/ Medicalis, adalah penghentian kehamilan dengan indikasi medis untuk menyelamatkan nyawa ibu, atau tubuhnya yang tidak bisa dikembalikan.
d. Aborsi Kriminalis, adalah penghentian kehamilan sebelum janin bisa hidup di luar kandungan dengan alasan-alasan lain, selain therapeutik, dan dilarang oleh hukum.
e. Aborsi Eugenetik, adalah penghentian kehamilan untuk meghindari kelahiran bayi yang cacat atau bayi yang mempunyai penyakit ginetis. Eugenisme adalah ideologi yang diterapkan untuk mendapatkan keturunan hanya yang unggul saja.
f. Aborsi langsung - tak langsung, adalah tindakan (intervensi medis) yang tujuannya secara langsung ingin membunuh janin yang ada dalam rahim sang ibu. Sedangkan aborsi tak langsung ialah suatu tindakan (intervensi medis) yang mengakibatkan aborsi, meskipun aborsinya sendiri tidak dimaksudkan dan bukan jadi tujuan dalam tindakan itu.
g. Selective Abortion, adalah penghentian kehamilan karena janin yang  dikandung tidak memenuhi kriteria yang diiginkan. Aborsi ini banyak dilakukan wanita yang mengadakan ”Pre natal diagnosis” yakni diagnosis janin ketika ia masih ada di dalam kandungan.
h. Embryo reduction (pengurangan embrio), pengguguran janin dengan menyisahkan satu atau dua janin saja, karena dikhawatirkan mengalami hambatan perkembangan, atau bahkan tidak sehat perkembanganya.
i. Partia Birth Abortion, merupakan istilah politis/hukum yang dalam istilah medis dikenal dengan nama dilation and extaction. Cara ini pertama-tama adalah dengan cara memberikan obat-obatan kepada wanita hamil, tujuan agar leher rahim terbuka secara prematur.

Sedangkan dalam ilmu kedokteran aborsi dibagi atas dua golongan (Taber Ben-zion, 1994) yakni sebagai berikut:
a. Aborsi Spontanus atau ilmiah
Aborsi terjadi dengan sendirinya tanpa adanya pengaruh dari luar baik factor mekanis ataupun medisinalis. Misalnya karena sel sperma atau sel telur tidak bagus kualitasnya, atau karena ada kelalaian bentuk rahim. Dapat juga disebabkan oleh karena penyakit, misalnya penyakit syphilis, infeksiakut dengan disertai demam yang tinggi pada penyakit malaria. Aborsi spontanus dapat juga terjadi karena sang ibu hamil muda, sementara ia melakukan pekerjaan yang beratberat ataupun keadaan kandungan yang tidak kuat dalam rahim karena usia wanita yang terlalu muda hamil utaupun terlalu tua.

Aborsi spontan dibagi atas:
1) Aborsi komplitus, artinya keluarnya seluruh hasil konsepsi sebelum umur kehamilan lengkap 20 minggu.
2) Aborsi habitualis, artinya aborsi terjadi 3 atau lebih aborsi spontan berturut-turut. Aborsi habitualis ini dapat terjadi juga jika kadangkala seorang wanita mudah sekali mengalami keguguran yang disebabkan oleh ganguan dari luar yang amat ringan sekali, misalnya terpeleset, bermain skipping (meloncat dengan tali), naik kuda, naik sepeda dan lain-lain. Bila keguguran hampir tiap kali terjadi pada tiap-tiap kehamilan, maka keadaan ini disebut “aborsi habitualis” yang biasanya terjadi pada kandungan minggu kelima sampai kelimabelas.
3) Aborsi inkomplitus, artinya keluar sebagian tetapi tidak seluruh hasil konsepsi sebelum umur kehamilan lengkap 20 minggu.
4) Aborsi diinduksi, yaitu penghentian kehamilan sengaja dengan cara apa saja sebelum umur kehamilan lengkap 20 minggu dapat bersifat terapi atau non terapi.
5) Aborsi insipiens, yaitu keadaan perdarahan dari interauteri yang terjadi dengan dilatasi serviks kontinu dan progresif tetapi tanpa pengeluaran hasil konsepsi sebelum umur kehamilan 20 minggu.
6) Aborsi terinfeksi, yaitu aborsi yang disertai infeksi organ genital.
7) Missed Abortion, yaitu aborsi yang embrio atas janinnya meninggal. Dalam uterus sebelum umur kehamilan lengkap 20 minggu tetapi hasil konsepsi tertahan dalam uterus selama 8 minggu atau lebih.
8) Aborsi septic, yaitu aborsi yang terinfeksi dengan penyebaran mikroorganisme dari produknya ke dalam sirkulasi sistematik ibu.
b. Aborsi Provokatus, yaitu aborsi yang disengaja, yang dilakukan dengan maksud dan pertimbangan tertentu baik dengan memakai obat-obatan atau alat karena kandungan tidak dikehendaki. Aborsi provocatus terdiri dari 1) Provocatus therapeutics/ aborsi medicalis, yaitu aborsi yang terjadi karena perbuatan manusia. Dapat terjadi baik karena di dorong oleh alasan medis, misalnya karena wanita yang hamil menderita suatu penyakit. Aborsi provokatus dapat juga dilakukan pada saat kritis untuk menolong jiwa si ibu, kehamilan perlu diakhiri, umpamanya pada kehamilan di luar kandungan, sakit jantung yang parah, penyakit TBC yang parah, tekanan darah tinggi, kanker payudara, kanker leher rahim. Indikasi untuk melakukan aborsi provokatus therapeuticum sedikit-dikitnya harus ditentukan oleh dua orang dokter spesialis, seorang dari ahli kebidanan dan seorang lagi dari ahli penyakit dalam atau seorang ahli penyakit jantung. 2) Aborsi provokatus criminalis. Inilah aborsi yang dilakukan dengan sengaja, baik oleh si ibu maupun oleh orang lain dengan persetujuan si ibu hamil. Hal ini dilakukan dengan alasan-alasan tertentu, misalnya malu mengandung karena hamil di luar nikah. Aborsi ini biasanya dilakukan demi kepentingan pelaku, baik itu dari wanita yang mengaborsikan kandungannya ataupun orang yang melakukan aborsi seperti dokter secara medis ataupun dilakukan oleh dukun beranak yang hanya akan mencari keuntungan materi saja.
2.1.3 Dampak Aborsi
Kondisi psikologis pasca aborsi diantaranya adalah munculnya penyangkalan, perempuan tak mau memikirkan atau membicarakan hal itu lagi, menjadikan rahasia pribadi, menjadi tertutup, takut didekati, munculnya perasan tertekan. Wanita yang melakukan aborsi diam-diam, setelah proses aborsi biasanya akan mengalami Post Abortion Syndrome (PAS) atau sering juga disebut Post Traumatic Stress Syndrome. Gejala yang sering muncul adalah depresi, kehilangan kepercayaan diri, merusak diri sendiri, mengalami gangguan fungsi seksual, bermasalah dalam berhubungan dengan kawan, perubahan kepribadian yang mencolok, serangan kecemasan, perasaan bersalah dan penyesalan yang teramat dalam. Mereka juga sering menangis berkepanjangan, sulit tidur, sering bermimpi buruk, sulit konsentrasi, selalu teringat masa lalu, kehilangan ketertarikan untuk beraktivitas, dan sulit merasa dekat dengan anak-anak yang lahir kemudian. Pada saat melakukan aborsi dan setelah melakukan aborsi ada beberapa resiko yang akan dihadapi seorang wanita, seperti yang dijelaskan dalam buku “Facts of Life” yang ditulis oleh Brian Clowes,Phd yaitu:
a. Kematian mendadak karena pendarahan hebat
b. Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal
c. Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan
d. Rahim yang sobek (Uterine Perforation)
e. Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan
menyebabkan cacat pada anak berikutnya
f. Kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita)
g. Kanker indung telur (Ovarian Cancer)
h. Kanker leher rahim (Cervical Cancer)
i. Kanker hati (Liver Cancer)
j. Kelainan pada placenta / ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya
k. Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi (Ectopic Pregnancy)
l. Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease)
m. Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis)
n.  Infeksi alat reproduksi karena melakukan kuretase (secara medis) yang dilakukan secara tak steril. Hal ini membuat remaja mengalami kemandulan dikemudian hari setelah menikah.
o.  Pendarahan sehingga remaja dapat mengalami shock akibat pendarahan dan gangguan neurologist. Selain itu pendarahan juga dapat mengakibatkan kematian ibu maupun anak atau keduanya.
p.  Resiko terjadinya reptur uterus atau robeknya rahim lebih besar dan menipisnya dinding rahim akibat kuretase. Kemandulan oleh karena robeknya rahim, resiko infeksi, resiko shock sampai resiko kematian ibu dan anak yang dikandungnya.
q.  Terjadinya fistula genital traumatis adalah suatu saluran atau hubungan antara genital dan saluran kencing atau saluran pencernaan yang secara normal tidak ada.(Kinanti)

Proses aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi kesehatan dan keselamatan seorang wanita secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang sangat hebat terhadap keadaan mental seorang wanita. Gejala ini dikenal dalam dunia psikologi sebagai “Post-Abortion Syndrome” (Sindrom Paska - Aborsi) atau PAS. Gejala-gejala ini dicatat dalam “Psychological Reactions Reported After Abortion” di dalam penerbitan The Post - Abortion Review (1994).
Pada dasarnya seorang wanita yang melakukan aborsi akan mengalami hal-hal seperti berikut ini:
a. Kehilangan harga diri (82%)
b. Berteriak-teriak histeris (51%)
c. Mimpi buruk berkali - kali mengenai bayi (63%)
d. Ingin melakukan bunuh diri (28%)
e. Mulai mencoba menggunakan obat - obat terlarang (41%)

2.2. Perkosaan
2.2.1 pengertian Perkosaan
Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas atau membawa pergi. (Haryanto,1997)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkosaan berasal dari kata “perkosa” yang berarti paksa, gagah, kuat,, perkasa. Sedangkan pemerkosaan diartikan sebagai proses, cara, perbuatan mempekosa, melanggar dengan kekerasan. Menurut Rifka Annisa Women’s Crisis Center, bahwa perkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan seksual dan tidak selalu persetubuhan akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin seperti oral seks, anal seks (sodomi), perusakan alat kelamin dan lain-lain. Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah perkawinan. (Idrus, 1999)
Sedangkan menurut Sofwan dahlan, perkosaan adalah perbuatan bersenggama yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan (force), menciptakan ketakutan (fear) atau dengan cara memperdaya (fraud). (Sofwan,2000)

2.2.2. Klasifikasi Perkosaan
Pembagian perkosaan berdasarkan sifatnya adalah sebagai berikut:
1)      sadistic rape, tipe perkosaan yang memadukan unsur seksualitas dan agresifitas dalam kekerasan yang merusak.
2)      Anger rape, perkosaan yang dilakukan sebagai pelampiasan atas kemarahan
3)      Domination rape, pekosaan yang dilakukan untuk menunjukkan superioritas pelaku.
4)      Seductive rape, perkosaan yang terjadi dengan korban sebagai faktur pencetus atau faktor yang memicu terjadinya perkosaan.

2.2.3 Faktor Penyebab Perkosaan
Banyak faktor yang melatarbelakangi dan berpengaruh terhadap seseorang hingga melakukan tindak kejahatan, bahkan mengulanginya sampai beberapa kali. Dalam analisis sebuah penelitian, telah diteliti variable-variabel yang diduga berpengaruh pada tindak kejahatan berulang. Variabel-variabel tersebut dikelompokkan dalam tiga kelompok variabel sesuai dengan sifatnya yaitu:
(1) Kelompok variabel karakteristik dan moral
Kelompok ini terdiri dari 5 variabel yang meliputi:
a. umur,
b. pendidikan,
c. kedudukan dalam rumah tangga,
d. ketaatan beribadah, dan
e. intensitas minum-minuman keras.

(2) Kelompok variabel ekonomi
Kelompok ini terdiri dari 4 variabel yang meliputi:
a. sumber pendapatan,
b. rata-rata pendapatan,
c. beban tanggungan, dan
d. kecukupan biaya hidup.
(3) Kelompok variabel lingkungan tempat tinggal clan pergaulan
Kelompok ini terdiri dari 4 variabel yang meliputi:
a. teman pergaulan sehari-hari,
b. kebiasaan menghabiskan waktu,
c. intensitas interaksi dengan tempat potensi kejahatan, dan
d. keamanan lingkungan tempat tinggal.
Selain itu juga terdapat faktor-faktor penyebab terjadinya permasalahan pemerkosaan  seperti berikut:
1.      Faktor intern yaitu:
a.       Keluarga,
b.      Ekonomi keluarga,
c.       Tingkat pendidikan,
d.      Agama/moral,
2.      Faktor ekstern,meliputi :
a.       lingkungan sosial,
b.      perkembangan ipteks,
c.       kesempatan,

2.2.4 Dampak Pemerkosaan
Beberapa akibat / efek dampak buruk pada korban pemerkosaan :
A. Menjadi stress hingga mengalami gangguan jiwa
B. Cidera ata luka-luka akibat penganiayaan
C. Kehilangan keperawanan / kesucian
D. Menjadi trauma pada laki-laki dan hubungan seksual
E. Bisa menjadi seorang lesbian atau homo yang menyukai sesama jenis
F. Masa depan suram karena dikanal sebagai korban perkosaan
G. Sulit mencari jodoh karena sudah tidak perawan
H. Bisa membalas dendam pada oang lain
I. Hamil di luar nikah yang sangat tidak diinginkan
J. Anak hasil perkosaan bisa dibenci orang tua, kerabat, tetangga, dll
K. Merusak mental seorang anak karena belum waktunya mengenal seks
L. Menjadi pasrah dan terus melakukan hubungan seks pranihah
M. Merasa kotor dan akhirnya terjun sebagai psk untuk mendapat uang.
N. dikucilkan dalam masyarakat
O. dipandang buruk
P. Terkena penyakit menular seksual yang berbahaya, dll
Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik secara halus maupun kasar. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial bagi perempuan yang menjadi korban perkosaan tersebut. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan melakukannya. Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara paksaan akan menyebabkan gangguan pada perilaku seksual (Koesnadi, 1992). Sementara itu, korban perkosaan berpotensi untuk mengalami trauma yang cukup parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang membuat shock bagi korban. Goncangan kejiwaan dapat dialami pada saat perkosaan maupun sesudahnya.Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik (Taslim, 1995). Secara umum peristiwa tersebut dapat menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000). Korban perkosaan dapat menjadi murung, menangis, mengucilkan diri, menyesali diri, merasa takut, dan sebagainya




BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Fakta Aborsi dan Perkosaan
            Aborsi yang dilakukan di Indonesia kebanyakan merupakan aborsi gelap atau aborsi tidak aman. Aborsi yang tidak aman adalah penghentian kehamilan yang tidak diinginkan yang dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih, atau tidak mengikuti prosedur kesehatan atau kedua-duanya (Definisi WHO). Dari 46 juta aborsi/tahun, 20 juta dilakukan dengan tidak aman, 800 wanita diantaranya meninggal karena komplikasi aborsi tidak aman dan sekurangnya 13 persen kontribusi Angka Kematian Ibu Global (AGI, 1997; WHO 1998a; AGI, 1999). WHO memperkirakan ada 4,2 juta aborsi dilakukan per tahun, 750.000 – 1,5 juta dilakukan di Indonesia, 2.500 orang diantaranya berakhir dengan kematian (Wijono, 2000).  Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, aborsi memberi kontribusi 11,1% terhadap Angka kematian Ibu (AKI) , sedangkan menurut Rosenfield dan Fathalla (1990) sebesar 10% (Wijono, 2000).
Menurut CIA World Factbook angka kelahiran Indonesia 18.1 per 1000 penduduk. Jumlah penduduk Indonesia 240 juta, jadi jumlah kelahiran sekitar 4,344 juta. jika misal 37 aborsi per 1000, maka total aborsi 1,6 juta. Secara umum, frekuensi terjadinya aborsi sangat sulit dihitung secara akurat, karena aborsi buatan sangat sering terjadi tanpa dilaporkan – kecuali jika terjadi komplikasi, sehingga perlu perawatan di Rumah Sakit. Akan tetapi, berdasarkan perkiraan dari BKBN, ada sekitar 2.000.000 kasus aborsi yang terjadi setiap tahunnya di Indonesia. Berarti ada 2.000.000 nyawa yang dibunuh setiap tahunnya secara keji tanpa banyak yang tahu.
Berikut ini adalah angka aborsi di Indonesia dari berbagai sumber yang tersedia:

Aborsi per tahun
Remaja
Tahun
Lain-lain
Sumber
Tautan
2,4 juta
800 ribu
2010
BKKBN
2 juta per tahun menurut
2,5 juta
1 ~ 2 juta
2011
Prof. Dr. Muhadjir Darwin, MPA
2 juta per tahun, 37 aborsi / 1000 perempuan usia reproduksi,
2000
2 ~ 2,6 juta aborsi per tahun. 43 aborsi setiap 100 kehamilan.
2009
2,3 juta per tahun
30% dari 2,3 juta
Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) remaja 150.000 ~ 200.000 per tahun.
2,3 juta
750.000
2004
Medical-Journal, Soetjiningsih, 2004
2 juta
70000
2000
Parawansa
2,3 juta
2000
Azwar 2
2,5 juta
Nugraha BD
43 aborsi per 100 kelahiran
2001
Utomo, B
2,5 juta
2010
Maya Trisiswati Ch

Di Indonesia, dari 2,5 juta orang melakukan aborsi, 1,5 juta di antaranya dilakukan remaja. Data Komisi Perlindungan Anak pada tahun 2011 ada 86 kasus dan meningkat menjadi 121 kasus pada tahun 2012, dimana pelaku aborsi tersebut adalah anak usia di bawah 18 tahun sebagai akibat gaul bebas yang menjadi life style remaja saat ini. Penelitian PPKLP-UI tahun 2001 pada 10 kota besar dan 6 kabupaten memperlihatkan 53 % jumlah aborsi terjadi di kota, padahal penduduk kota 1,36 kali lebih kecil dari pedesaan dan pelayan aborsi dilakukan oleh tenaga tidak terlatih terdapat di 16% titik pelayanan aborsi di kota oleh dukun bayi dan 57% di Kabupaten. Kasus aborsi yang ditangani dukun bayi sebesar 11% di kota dan 70 % di Kabupaten dan dari semua titik pelayanan 54% di kota dan 85% di Kabupaten dilakukan oleh swasta/pribadi. Dari beberapa sumber didapat informasi juga bahwa banyak kasus aborsi terjadi pada orang yang sudah berkeluarga, terutama karena anak yang tidak diinginkan (sudah banyak). Selain itu sebuah studi di Bali menemukan bahwa 71 % perempuan yang melakukan aborsi adalah perempuan menikah (Dewi, 1997), juga studi yang dilakukan oleh Population Council, 98,8 % perempuan yang melakukan aborsi di sebuah klinik swasta di Jakarta, telah menikah dan rata-rata sudah memiliki anak (Herdayati, 1998), alasan yang umum adalah karena sudah tidak ingin memiliki anak lagi, seperti hasil survey yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS), 75 % wanita usia reproduksi berstatus kawin tidak menginginkan tambahan anak (BPS, Dep.Kes1988). Jadi aborsi tidak murni terjadi karena hubungan seks luar nikah.
Tindak pidana perkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP,BabXIV tentang Kejahatan Kesusilaan, yang berbunyi sebagai berikut:
“Barang siapa degan kekrasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. “
Kemudian dalam pasal 285 disebutkan bahwa korban perkosaan adalah wanita dengan berbagai usia, sedangkan dalam pasal 286 disebutkan objek perkosaan adalah wanita yang pingsan atau tidak berdaya dan pada pasal 287 objek perkosaan adalah wanita yang belum berusisa 15 tahun.
Pembuktian tindak pidana perkosaan di pangadilan bergantung pada penyedik dan penuntut umum dalam menunjukkan bukti-bukti dan dalam prosesnya tidak mudah karena penyelidikan meliputi berbagai hal baik bukti fisik (atopsi), saksi mata, barang bukti dan lain-lain. Sehingga tidak jarang karena satu dan lain hal banyak wanita korban perkosaan yang enggan untuk melaporkan tindak kejahatan ini kepada pihak yang berwenang.

3.2. Pro dan Kontra Legalisasi Aborsi Bagi Korban Perkosaan yang Hamil
Mantan Presiden Susilo Bambang Yudoyono telah  menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi pada 21 Juli 2014. Peraturan ini menuai banyak pendapat dikalangan masyarakat, hal ini disebabkan adanya pasal yang mengatur tentang legalisasi aborsi bagi wanita hamil yang menjadi korban perkosaan. Pasal-pasal mengenai aborsi untu korban perkosaan dalam PP 61/2014 adalah pasal 29, pasal 31, dan pasal 34. Berikut adalah bunyi pasal tersebut:


Pasal 29:
1.      Korban kekerasan seksual harus ditangani secara multidisiplin dengan memperhatikan aspek hukum, keamanan dan keselamatan serta kesehatan fisik, mental dan seksual.
2.      Penanganan aspek hukum, kemanan dan keselamatan sebagaimana pada ayat (1) meliputi :
-          Upaya perlindungan dan penyelamatan korban,
-          Upaya forensic untuk pembuktian, dan
-          Identifikasi pelaku.
3.      Penanganan aspek kesehatan, fisik, mental dan seksual pada korban kekerasan seksual sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi:
-          Pemeriksaan fisik, mental dan penunjang,
-          Pengobatan luka dan/atau cidera
-          Pencegahan dan/atau penanganan penyakit menular seksual,
-          Pencegahan dan/atau penanganan kehamilan,
-          Terapi psikiatris dan psikoterapi, dan
-          Rehabilitasi psikososial
4.      Ketentuan mengenai penangan korban kekerasan seksual dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal  31:
1.      Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan:
-          Indikasi kedaruratan medis
-          Kehamilan akibat perkosaan
2.      Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf  b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama 40 hari dihitung hari pertama haid terakhir.




Pasal 34:
1.      Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.      Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
-          Usia kehailan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter
-          Keterangan penyidik, psikolog dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.

Pasal 35
1.      Aborsi kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu  dan bertanggung jawab

Wanita yang akan melakukan aborsi berhak mendapatkan konseling. Berikut adalah pasal yang mengatur konseling pra melakukan tindakan aborsi:
Pasal 37 ayat(3)
a.       menjajaki kebutuhan dari perempuan yang ingin melakukan aborsi
b.      menyampaikan dan menjelaskan kepada perempuan yang ingin melakukan aborsi bahwa tindakan aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang
c.       mnjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan dilakukan dan kemungkinan efek samping atau komplikasinya
d.      membantu perempuan yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil keputusan sendiri untukmelakukan aborsi atau membatakkan keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi
e.       menilai kesiapan pasien untuk menjalani aborsi



Pasal yangmengatur konseling pasca pelaksanaan tindakan aborsi adalah sebagai berikut:
Pasal 37 ayat (4)
a.       menobservasi dan mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi
b.      membantupasien untuk memahami keadaan atau kondisi fisik setelah menjalani aborsi
c.       menjelaskan perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan konseling lanjutan atau tindakan rujukan bila diperlukan
d.      menjelaskan pentingnya penggunaan aat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya kehamilan

Tindakan konseling maupun tindakan aborsi yang dilakukan ditangani oleh tim ahli yang dilatih terlebih dahulu baik ditingkat pusat maupun daerah sehingga dapat melakukan tindakan yang tepat.
Peraturan perundang-undangan ini dianggap memiliki banyak kelamahan yakni sebagai berikut:
1.      Pengaturan tentang penanganan korban perkosaan pada ayat (3) pasal 29 belum dapat menjelaskan secara detail mengenai prosedur, pembiayaan, tahapannya serta perlindungannya.
2.      Aborsi hanya dapat dilakukan pada usia kehamilan kurang dari 40 hari dari hari pertama terakhir haid, sedangkan pembuktian kasus perkosaan tidaklah cepat dan mudah sehingga waktu tersebut dirasa terlalu cepat. Selain itu, banyak korban yang merasa enggan dan lambat dalam melakukan pelaporan karena satu dan banyak hal misalnya faktor malu, takut dan ketidak tahuan.
3.      Tidak adanya kejelasan mengenai pembiayaan pemeriksaan dan layanan kesehatan bagi korban perkosaan dan kekerasan seksual lainnya.

Peraturan ini kemudian menjadi kontroversi dalam berbagai kalangan. Berikut adalah alasan dari pihak-pihak yang menentang adanya peraturan legalisasi aborsi:
1.      Undang-undang aborsi dianggap menentang dan melanggar hak hidup anak, seperti yang telah diatur dalam Pasal 1 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. “Anak itu termasuk yang masih di dalam kandungan hingga berusia 18 tahun , dan negara wajib melindunginya.”
2.      Dari faktor kriminogen, peraturan yang dimaksudkan untuk perlindungan, tapi nantinya justru menciptakan kejahatan baru. Para wanita justru mencari cara agar diri seakan diperkosa dan melakukan aborsi, padahal kehamilan itu didasarkan kepada hubungan gelap. Apalagi dengan batas 40 hari yang diperbolehkan melakukan aborsi, dokter yang melakukan tidak akan mungkin memaksa untuk meminta surat keterangan kepolisian terkait korban perkosaan. Karena, biasanya butuh proses yang panjang (lebih dari 40 hari) untuk menetapkan seseorang diperkosa (pemberkasan).
3.      PP ini rawan diselewengkan dan akan memicu pergaulan bebas. Tanpa adanya PP tersebut pun, praktik aborsi sudah begitu marak, termasuk yang dilakukan oleh dukun-dukun kandungan.
4.      Tindakan aborsi bertentangan degan sumpah dan kode etik dokter karena dokter hanya boleh dan akan mengaborsi karena indikasi medis yakni kehamilan yang membahayakan jiwa ibu dan janin. Sedangkan kehamilan hasil perkosaan bukan merupakan domain dokter namun masuk dalam persoalaan hukum.
5.      Dampak yang ditimbulkan dari praktek aborsi tidak kalah kompleksnya dengan dampak perkosaan itu sendiri sehingga adanya legalisasi aborsi akibat perkosaan akan menambah kompleks permasalahan yang akan dihadapi korban baik secara fisik mapun psikologis.
6.      Tahapan pembuktian adanya dugaan perkosaan membutuhkan waktu yang tidak sebentar sedangkan waktu pembolehan aborsi hanya 40 hari sejak hari pertama terakhir haid, maka sebelum divonis benar-benar menjadi korban perkosaan korban justru akan kehilangan kesempatannya untuk melakukan aborsi.
7.      Legalisasi aborsi akibat perkosaan akan memicu kehamilan tak diinginkan lainnya -seperti akibat perzinahan, kehamilan yang dianggap menghambat karir, kerja dan kehamilan lain yang tidak diinginkan- untuk menuntut legalisasi aborsi.
8.      Legalisasi aborsi menentang peraturan tentang aborsi, yakni  Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa aborsi dengan alasan apapun merupakan bentuk kejahatan tersendiri yang jelas diatur dalam.

Sedangkan alasan pihak-pihak yang setuju dengan adanya peraturan ini mengemukakan alasannya seperti berikut:
1.      Aborsi menjadi legal karena angka kematian ibu pada saat melahirkan anak di Indonesia tertinggi di Asia. Dari 100 ribu kelahiran ada 300 lebih ibu yang meninggal dunia dan 50% diakibatkan oleh aborsi tidak aman karena sembunyi dan tidak steril. Itulah sebabnya diperlukan pengaturan diijinkannya aborsi yang aman (safe abortion).
2.      Legalisasi aborsi telah sesuai dengan fatwa MUI pada tahun 2005 yang membolehkan aborsi dengan syarat janin belum memiliki roh dan jiwa atau sebelum 40 hari dan hanya dilakukan atas alasan darurat medis atau hamil akibat pemerkosaan karena ini mengancam keselamatan jiwa si ibu dari sisi psikis.
3.      Aborsi merupakan hak yang dimiliki oleh korban perkosaan namun penerapan aborsi harus pula diikuti dengan mempertimbangkan ajaran agama korban perkosaan terkait penerapan aborsi ini tapi keputusan untuk melakukan aborsi tetap berada di tangan korban perkosaan, kemudian perlu ada pembuktian hukum kuat bagi pihak yang melakukan aborsi.
4.      Legalisasi aborsi tersebut tidak bertentangan dengan HAM karena konsep HAM hanya mengatur hak hidup, dan hak hidup tidak bisa digantikan. PP Kesehatan Reproduksi memberikan pengecualian untuk pertimbangan indikasi medis dan korban perkosaan, di mana perempuan sendiri menjadi korban dan hal itu tidak melanggar HAM.
5.      PP ini justru lebih melindungi perempuan dan mencegah perempuan kembali ke dukun untuk melakukan aborsi dengan sembarangan proses yang berakibat pada hilangnya nyawa
6.      Peraturan pemerintah ini diharapkan mampu melindungi kesehatan reproduksi sebagai hak dasar perempuan yang menjadi bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Pelegalan aborsi untuk perempuan korban pemerkosaan dilakukan dengan pertimbangan korban memiliki trauma yang cukup panjang, masih di bawah umur dan mereka tidak siap untuk punya anak.
7.      Peraturan perundang-undangan telah mengatur berbagai tindakan yang harus dilakukan sebelum dan setelah tindakan aborsi termasuk konseling dan kesiapan mental dan fisik korban sehingga peraturan ini dianggap lengkap dan dapat meminimallisir segala persoalan yang mungkin timbul setelah tindakan aborsi

Di negara-negara maju seperti amerika serikat legalisasi aborsi masih dipertimbangan dengan matang, buktinya hanya 20 negara bagian yang melegalkan tindakan ini sedangkan 30 negara bagian lainnya melarang tindakan aborsi ini. Pelegalan aborsi di amerika serikat dibatasi hanya pada aborsi terhadap kehamilan hasil perkosaan dan persinahan. Selain itu permasalahan perkosaan bukan hanya permasalahan hukum namun permasalahan social dan budaya. Faktor kultur masyarakat menjadi determinan yang ikut menentukan penyelesaian hukum tindak pidana perkosaan tersebut. Faktor kultural tersebut ternyata justru menjadi hambatan dalam penyelesaian hukum disamping karakteristik peristiwa perkosaan itu sendiri yang membuat ketentuan yuridis positif menjadi sangat terbatas untuk menjangkaunya. Tindak kejahatan seksual ini dianggap sebagai sebuah “aib” yang harus ditutupi dan dijaga kerahasiannya sehingga kultur ini membuat korban enggan dan merasa malu untuk mengungkapkan tindak kejahatan seksual dan membuat proses pembuktian serta penyidikan semakin sulit.

3.3. Solusi
Solusi yang diajukan untuk menyelesaikan persengkataan ini adalah :
1.      Mempertegas dan memperberat hukuman bagi pelaku pelecehan seksual khususnya perkosaan
2.      Melakukan pendampingan, konseling serta rehabilitasi bagi wanita korban perkosaan agar siap menerima keberadaan bayi yang dilahirkan
3.      Pemberian bantuan mental dan recovery bagi korban serta jaminan kesalamatan bagi bayi yang nantinya dilahirkan. Bila kemudian korban perkosaan tidak menginginkan bayi yang telah dilahirkan maka kemudian bayi tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah.
4.      Dilakukan sosialisasi secara menyeluruh dan kontinyu tentang perundang-undangan yang ada serta prosedur, tahapan dan kejelasan biaya –diharapkan negara memberikan fasilitas lebih kepada korban sehingga dapat mendapatkan layanan kesehatan secara gratis dan mudah-. Sosialisasi diharapkan mampu membantu pemahaman masyarakat tentang aborsi dengan semua dampak positif dan negatifnya.
5.      Membatasi dan mengatur segala sesuatu yang dapat memicu terjadinya tindak kejahatan perkosaan dan/atau kejahatan seksual lainnya, misalnya membatasi peredaran situs porno, mempertegas batasan dan sanksi tindak pornografi dan pornoaksi, melarang fasilitas kemaksiatan termasuk diantaranya peraturan berpakaian, penjualan minuman-minuman serta obat-obatan  dan melarang hal-hal yang membangkitkan nafsu seksual,”
6.      Pelaku pidana yang melarikan diri diharapkan tidak akan menghambat pelaksanaan perundang-undangan karena diharapkan sidang dapat dilakukan tanpa kehadiran pelaku.
7.      Mengkaji kembali batasan perundangan tentang perzinahan, agar pelaku perzinahan yang didasarkan atas suka sama suka yang kemudian merasa dirugikan karena perbuatannya dan ingin melakukan aborsi dengan dalih sebagai korban perkosaan juga dapat ditindak lanjuti dan diberikan solusi yang nyata secara hukum agar tidak ada kerancuan dengan undang-undang yang ada ini.
8.      Penyidikan, pemeriksaan pembuktian serta penyelesaian hukum tindak kejahatan perkosaan ditangani oleh pihak-pihak khusus sehingga waktu yang dibutuhkan untuk melakukan segala proses hukum tersebut tidak lebih dari 30 hari dan korban dapat mendapatkan kesempatan untuk melakukan aborsi sesuai perundang-undangan tepat waktu.
9.      Dilakukan pendampingan dan konseling bagi remaja dan/atau pelajar agar tidak melakukan seks pranikah.
10.  Melakukan tindakan hukum yang tegas dan pantas bagi tenaga medis dan/atau dukun dan semua pelaku yang membantu proses aborsi gelap untuk mencegah terjadinya kesalahan aborsi yang mengakibatkan kematian dan komplikasi lainnya.
11.  Adanya kejelasan tentang batasan hak anak dan hukum aborsi, sehingga tidak ada tumpang tindih peraturan perundangan-undangan yang dianggap bersebrangan.

















BAB IV
KESIMPULAN

Aborsi atau abortus adalah upaya untuk menghilangkan janin hasil konsepsi yang berusia sekitar 20 minggu dan  berukuran tertentu dengan berbagai cara. Sedangkan perkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan seksual dan tidak selalu persetubuhan akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin seperti oral seks, anal seks (sodomi), perusakan alat kelamin dan lain-lain. Korban perkosaan yang mengakibatkan kehamilan kemudian dilindungi oleh PP 61/2014 adalah pasal 29, pasal 31, pasal 34, pasal 35 dan pasal 36. Berbagai pandangan tentang pro dan kotra perundang-undangan ini diharapkan mampu memberikan kritik konstruktif bagi seluruh pihak sehingga pasal-pasal yang berkaitan dengan aborsi ini diharapkan dapat dikaji ulang sehingga tidak ada tumpang tindih dengan perturan lain sperti peraturan mengenai hak anak (Pasal 1 UU Nomor 23 Tahun 2002) dan larangan aborsi (Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)) serta dilakukan konseling terhadap remaja/pelajar dan rehabilitasi korban kejahatan seksual perkosaan. Perundang-undangan ini disosialisasikan dan diringi dengan adanya tindakan hukum yang tegas dan keras terhadap segala tindakan kejahatan seksual dan faktor-faktor pemicunya serta tenaga media maupun dukun yang membantu aborsi gelap. Proses hukum tindak perkosaan diharapkan dibuat semudah mungkin dan sevalid mungkin agar tidak menghalangi tindak aborsi dan merugikan berbagai pihak. Adanya kejelasan pembiayaan layanan kesehatan bagi korban perkosaan, tahapan serta prosedurnya.